Dalam dunia kuliner, banyak jenis makanan yang menjadi kontroversi, salah satunya adalah bekicot. Hewan yang dikenal sebagai siput darat ini sering dikonsumsi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun, dalam konteks Islam, muncul pertanyaan besar: apakah bekicot halal atau haram? Sebagai umat Muslim, penting untuk memahami hukum konsumsi hewan ini berdasarkan sumber-sumber syariat Islam seperti Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat para ulama.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam tentang hukum makan bekicot dalam Islam, pandangan mazhab-mazhab fikih, landasan hukum, serta pertimbangan ilmiah dan kesehatan yang bisa menjadi pelengkap dalam mengambil keputusan.
Mengenal Bekicot: Hewan Amfibi yang Dikonsumsi
Apa Itu Bekicot?
Bekicot (Achatina fulica) adalah sejenis moluska bertubuh lunak yang hidup di darat. Ia termasuk dalam kategori gastropoda dan biasa ditemukan di lingkungan yang lembap. Bekicot bergerak lambat dan memiliki cangkang spiral yang besar. Di Indonesia, bekicot banyak ditemukan di kebun, ladang, dan wilayah pedesaan.
Di beberapa daerah, hewan ini dianggap sebagai hama tanaman. Namun, di sisi lain, hewan ini juga dijadikan makanan, bahkan diekspor ke negara-negara lain. Daging hewan ini dipercaya memiliki kandungan protein tinggi dan khasiat tertentu bagi kesehatan, meskipun juga bisa menjadi pembawa parasit jika tidak diolah dengan benar.
Tradisi Konsumsi Bekicot di Berbagai Negara
Meskipun banyak ditolak secara budaya di negara-negara Muslim, bekicot adalah makanan populer di Prancis (disebut escargot), serta dikonsumsi di beberapa wilayah Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Di Indonesia sendiri, beberapa daerah seperti Jawa Timur dan Sumatera Barat diketahui mengolah bekicot sebagai sate, pepes, atau keripik.
Hal ini tentu menimbulkan dilema tersendiri bagi umat Islam yang ingin memastikan bahwa makanan yang mereka konsumsi sesuai dengan syariat.
Landasan Hukum Makanan dalam Islam
Prinsip Dasar dalam Konsumsi Makanan
Dalam Islam, prinsip utama dalam makanan tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 168:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.”
Artinya, umat Islam diwajibkan untuk mengonsumsi makanan yang halal (diperbolehkan) dan thayyib (baik dan menyehatkan). Tidak semua yang halal pasti thayyib, dan tidak semua yang thayyib itu halal, sehingga dua kriteria ini harus berjalan beriringan.

Kriteria Hewan Halal dan Haram
Dalam Islam, hewan dikategorikan sebagai halal dan haram berdasarkan jenis, cara hidup, tempat hidup, serta cara penyembelihannya. Secara umum:
- Hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah dan tidak bertaring (pemangsa) cenderung halal.
- Hewan yang menjijikkan (khabits), hidup di dua alam (amfibi), atau hidup di air namun tidak bersirip dan bersisik, biasanya dianggap haram.
Dari sinilah muncul berbagai interpretasi terkait hewan-hewan yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an atau Hadis, termasuk hewan ini.
Pendapat Para Ulama tentang Hukum Bekicot
Mazhab Syafi’i dan Mayoritas Ulama: Bekicot Haram
Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hewan ini, khususnya yang hidup di darat, termasuk hewan yang tidak halal dikonsumsi. Alasan utamanya adalah karena hewan ini hidup di dua alam (daratan dan lingkungan lembap seperti lumpur), serta tidak tergolong hewan yang memiliki darah mengalir dan tidak disembelih secara syar’i.
Bekicot juga digolongkan sebagai hewan menjijikkan (khabits), yang dalam QS. Al-A’raf ayat 157 dilarang untuk dikonsumsi:
“…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…”
Mazhab Hanafi: Lebih Ketat terhadap Hewan Air dan Darat
Dalam mazhab Hanafi, hanya ikan yang hidup di air sepenuhnya yang boleh dikonsumsi. Karena hewan ini tidak tergolong ikan dan hidup di darat, maka jelas hewan ini haram dikonsumsi menurut mazhab ini.
Mazhab Maliki dan Hambali: Pendekatan yang Lebih Fleksibel
Beberapa ulama dari mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa bekicot boleh dikonsumsi jika termasuk hewan yang tidak membahayakan, tidak menjijikkan secara mutlak, dan dapat disembelih sesuai aturan Islam.
Namun, pendapat ini tetap minoritas dan lebih condong pada jenis hewan ini yang hidup di air, bukan bekicot darat seperti Achatina fulica.
Fatwa Ulama Kontemporer
Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum secara eksplisit mengeluarkan fatwa khusus tentang bekicot. Namun, berdasarkan pedoman umum makanan halal MUI, hewan ini termasuk kategori hewan tidak lazim dikonsumsi dan berpotensi haram karena sifatnya yang menjijikkan dan tidak ada cara penyembelihan yang sah.
Beberapa fatwa di negara lain, seperti Mesir dan Arab Saudi, cenderung mengharamkan konsumsi bekicot darat, tetapi memperbolehkan jenis siput laut tertentu jika termasuk dalam kategori hewan yang boleh dimakan.
Dalil dan Analogis Hukum Bekicot
Tidak Memiliki Darah yang Mengalir
Dalam Islam, hewan yang boleh disembelih dan dimakan harus memiliki darah yang mengalir. hewan ini tidak memiliki sistem peredaran darah seperti mamalia, sehingga tidak dapat disembelih secara syar’i. Ini menjadi alasan kuat dari keharaman hewan tersebut.
Kehidupan di Dua Alam
Bekicot hidup di darat tetapi juga menyukai lingkungan lembap. Ini membuat sebagian ulama mengkategorikannya sebagai hewan amfibi, yang dilarang dikonsumsi karena kemiripannya dengan katak—hewan yang jelas diharamkan dalam banyak mazhab.
Khabits dan Potensi Bahaya
Bekicot dianggap menjijikkan (khabits) oleh kebanyakan orang. Dalam kaidah fiqh:
“Apa yang dianggap kotor oleh tabiat sehat, maka itu tidak layak dikonsumsi.”
Selain itu, secara medis, hewan ini bisa menjadi vektor penyakit, seperti cacing parasit dan infeksi menular lainnya. Dari sudut pandang thayyib, hal ini menambah pertimbangan bahwa konsumsi hewan ini tidak dianjurkan.
Perspektif Kesehatan dan Sains
Kandungan Gizi Bekicot
Meski kontroversial, hewan ini mengandung protein tinggi, zat besi, kalsium, dan magnesium. Dalam pengobatan tradisional, daging dan lendir hewan ini dianggap berguna untuk mengobati luka, merawat kulit, hingga menambah stamina.
Namun, manfaat ini belum sepenuhnya didukung bukti ilmiah kuat. Konsumsi hewan ini harus dilakukan dengan hati-hati karena potensi kontaminasi parasit dan bakteri jika tidak dimasak sempurna.

Risiko Parasit dan Infeksi
Bekicot dikenal sebagai inang dari cacing parasit seperti Angiostrongylus cantonensis, penyebab penyakit meningitis eosinofilik. Infeksi ini bisa sangat berbahaya bagi manusia, terutama jika daging hewan ini dikonsumsi setengah matang atau mentah.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga memperingatkan tentang risiko konsumsi hewan liar seperti hewan ini, karena kurangnya standar sanitasi dan proses pengolahan yang baik.
Alternatif Konsumsi dan Gaya Hidup Halal
Mengedepankan Kaidah Fiqh: “Tinggalkan yang Meragukan”
Dalam hadits sahih dari Nabi Muhammad SAW disebutkan:
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi dan Nasai)
Bagi umat Muslim, jika suatu makanan menimbulkan keraguan tentang kehalalannya, maka lebih utama untuk ditinggalkan. Mengonsumsi bekicot yang tidak jelas kehalalannya termasuk dalam kategori ini.
Banyak Pilihan Protein Halal Lainnya
Dengan banyaknya pilihan sumber protein halal seperti ayam, ikan, sapi, dan kambing, umat Islam tidak perlu mengambil risiko dengan mengonsumsi hewan ini. Prinsip dalam Islam adalah kemudahan dan menghindari mudarat, maka memilih makanan yang jelas halal dan baik akan membawa keberkahan.
Kesimpulan: Bekicot Lebih Dekat kepada Haram
Menimbang dari berbagai aspek—baik dari sudut pandang fiqh, dalil syariat, pendapat ulama, hingga pertimbangan kesehatan—dapat disimpulkan bahwa hewan ini lebih dekat kepada kategori haram untuk dikonsumsi dalam Islam.
Mayoritas ulama sepakat bahwa:
- Bekicot tidak memiliki darah yang mengalir.
- Termasuk hewan yang menjijikkan.
- Tidak bisa disembelih secara syar’i.
- Berisiko membawa penyakit berbahaya.
Meski ada segelintir pendapat yang membolehkannya, namun demi menjaga kehati-hatian dan menghindari yang syubhat, umat Islam disarankan untuk tidak mengonsumsi bekicot.
Dalam memaknai gaya hidup halal dan thayyib, penting bagi setiap Muslim untuk terus mencari ilmu, bertanya kepada ahli, dan selalu mendahulukan prinsip kehati-hatian dalam konsumsi. Keberkahan tidak hanya berasal dari rasa, tetapi dari kepatuhan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya.